TEMPO.CO, Jakarta
- Sangat mudah menemukan toko furnitur di Jakarta saat ini. Kawasan
Kemang bisa dibilang salah satu pusatnya. Produk hasil karya dalam dan
luar negeri ada di sana. Beberapa toko yang sudah terkenal, misalnya
Decorus, Tryst Living, MOIE, dan Toimoi. Keluar dari kawasan itu, ada
juga yang menyediakan furnitur hasil pengerjaan massal, salah satunya
Index. Dalam waktu dekat pun rencananya perusahaan asal Swedia, Ikea,
bakal masuk ke Indonesia.
Penataan perabot di dalam toko-toko itu
sudah pasti rapi sehingga terkadang membuat sungkan pembeli. Perlu
sedikit usaha kalau ingin mencari toko yang terasa tak formal, tapi
produknya tetap berkualitas. Contohnya, Moje Natural. Lokasinya berada
di kawasan Jagakarsa, dekat Kebun Binatang Ragunan. Toko ini cukup unik
karena berada di dalam rumah tradisional. Bagian mukanya menampilkan
atap perisai yang besar, lalu di bawahnya terdapat teras yang dibatasi
oleh pagar setinggi pinggang, seperti rumah kebaya dari Betawi.
Masuk
ke dalamnya, furnitur tidak ditata rapi, malah terkesan berantakan.
Meja makan diapit dua kursi yang berbeda desain dan warna. Tak jauh dari
situ, ada lemari sepatu, lemari makan, sofa, meja untuk minum teh, juga
berbagai jenis kursi. Semua seolah berserakan seperti di gudang. Tak
ada mesin penyejuk udara. Semua jendela di empat sisi bangunan terbuka.
Tak ada tulisan “Dilarang Duduk di Sini” di atas mebel-mebel di
dalamnya.
Struktur rangka hingga dindingnya memakai kayu dan
terekspos dari luar ataupun dalam ruangan. Lantainya hanya berlapis
semen. Toko yang baru berdiri pada 2011 ini dibangun di lahan seluas
lebih dari 2 hektare. Bangunannya berada di bagian muka lahan. Namun, di
baliknya terdapat rumah pemilik toko yang kerap menjadi lokasi foto
pasangan yang bakal menikah.
Kembali ke soal desain, gaya
furnitur di toko itu bukan modern, tapi juga bukan tradisional. Ia
seolah berada di tengah-tengah. “Kami memilih vintage karena
barang-barang jadi lebih berkarakter,” kata Theresia Lo, pemilik Moje.
Ide untuk menampilkan gaya ini muncul karena perempuan paruh baya
tersebut suka mengumpulkan kayu-kayu dan barang-barang bekas.
Dari
kumpulan barang-barang tersebut, kemudian ia mencari ide desain dari
buku dan Internet. Ibu dua anak ini lalu membuat bengkel kerja di Bogor.
Kayu-kayu ia gabungkan menjadi satu, jadilah sebuah meja makan atau
kursi. Terlihat pula ketika Tempo datang ke Moje Natural pada
Kamis lalu, kaleng bekas cat berubah menjadi bangku. Besi-besi tua
ditempa kembali menjadi sebuah sofa.
Hasil pengerjaannya sangat
rapi, mengingat materialnya dari barang bekas. Memang, kayu-kayunya ada
yang tak sempurna: ada goresan atau catnya tidak menutup mulus. Namun,
semua ketaksempurnaan beserta penataannya yang menyebar justru memberi
kesan nyaman dan membebaskan imajinasi para tamu yang datang. Melihat
bangku dan meja di sudut toko langsung terbayang suasana keluarga yang
sedang duduk nyaman di kursi favoritnya masing-masing.
Lalu,
lemari kecil dan laci-lacinya juga sangat dekat dengan kepribadian rumah
yang tak selalu sempurna dan tak masalah kalau ada celah di sana-sini.
Inilah gaya, yang mengambil istilah dunia desain interior, campuran
antara rustic dan industrial. Rustic kuat dengan unsur kayu karena sesuai dengan namanya serasa berada di pedesaan, sedangkan industrial memakai beragam material bekas, dari besi, aluminium, sampai kayu.
Pada
awal abad ke-21, kedua gaya ini berkembang pesat di AS, terutama di
kawasan pesisir. Rumah-rumah pantai banyak yang memakainya hingga
menyebar ke kafe, restoran, hingga ke Indonesia. Kebanyakan penyuka gaya
ini orang-orang muda yang tak ada masalah jika punya furnitur bekas dan
bopeng-bopeng.
Tak ada aturan khusus dalam menata perabot
bergaya “jadul” ini. Meja dan kursi tidak perlu sama warna atau model.
Semakin acak, semakin baik. Asalkan berada pada napas yang sama, dari
material bekas dimodifikasi bentuk dan fungsinya menjadi baru. Skala
juga menjadi perhatian utama. Jangan sampai ada satu perabot terlihat
mendominasi yang lain.
Theresia mengatakan, walaupun terlihat
sederhana, pengerjaan furnitur ini cukup rumit. “Harus menyesuaikan
karakter kayu dengan barang,” ujarnya. Belum lagi menyelesaikan finishing,
misalnya pengecatan, agar terlihat alami. “Perlu latihan dan trik
khusus supaya barang terlihat luntur terkena matahari atau kehujanan.”
SORTA TOBING
Tidak ada komentar:
Posting Komentar